Kalau Pun Iya Matahari Kembar, Tidak Masalah

Fajar Maritim

BEBERAPA hari pasca-Lebaran 2025, jagat politik Indonesia kembali hangat. Kali ini karena sejumlah menteri Kabinet Prabowo Subianto sowan ke kediaman Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, di Solo. Kunjungan itu—yang secara simbolik berlangsung di momen sakral Idul Fitri—memicu wacana yang cukup menyengat: “matahari kembar.”

Banyak yang khawatir. Bahwa pemerintahan ini seolah punya dua pusat loyalitas: satu ke presiden yang sah, Prabowo Subianto, dan satu lagi ke mantan presiden yang masih memiliki basis kekuasaan kultural, elektoral, bahkan mungkin birokratis, yakni Joko Widodo.

Namun pertanyaannya, apakah benar “matahari kembar” selalu membawa bencana? Atau justru bisa menjadi bentuk baru demokrasi yang dinamis dan sehat? Mari kita kupas.

Baca Juga:  Prabowo Dijadwalkan Lepas Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia pada 2 Mei 2025

Dalam kajian ilmu politik, loyalitas ganda bukanlah sesuatu yang tabu. Menurut Samuel P. Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968), dalam masa transisi politik dari satu rezim ke rezim berikutnya, selalu ada tarik-menarik kekuasaan antara institusi lama dan institusi baru. Hal ini bukan berarti ketidakstabilan, melainkan fase penataan ulang loyalitas dalam bingkai demokrasi.

Para menteri yang dahulu diangkat oleh Presiden Jokowi, lalu kini diperpanjang masa tugasnya oleh Presiden Prabowo, wajar saja jika mereka memiliki semacam keterikatan emosional, atau bahkan politis, terhadap dua tokoh ini.

Dalam konteks sistem presidensial seperti Indonesia, selama loyalitas mereka tetap pada konstitusi dan garis kebijakan presiden yang sedang menjabat, maka keberadaan dua pusat pengaruh bukanlah bentuk pengkhianatan—tetapi adaptasi.

Baca Juga:  Prabowo Dijadwalkan Lepas Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia pada 2 Mei 2025

Kekhawatiran tentang “matahari kembar” seringkali lahir dari nalar politik yang terlalu sentralistik. Padahal, demokrasi yang sehat seharusnya tidak alergi terhadap pluralitas pengaruh. Justru, pluralitas itulah yang menjadi jaring pengaman dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam sistem presidensial modern, seperti yang dijelaskan oleh Juan Linz, stabilitas politik tidak hanya ditentukan oleh kekuasaan tunggal presiden, tetapi oleh kemampuan presiden untuk mengelola beragam kekuatan yang hidup dalam ekosistem politik.

Presiden Prabowo yang cerdas tentu tidak akan tersandera oleh simbolisme pertemuan lebaran. Ia paham, membangun negara memerlukan sinergi, bukan monopoli pengaruh.

Baca Juga:  Prabowo Dijadwalkan Lepas Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia pada 2 Mei 2025

Lagi pula, tidak semua dualisme berarti konflik. Dalam ilmu astronomi, terdapat konsep binary star system—dua bintang yang saling mengorbit dan justru menciptakan keseimbangan gravitasi.

Jika Jokowi dan Prabowo mampu menjalin sinergi politik dan birokrasi, maka Indonesia akan menjadi negara yang memiliki redundansi kepemimpinan: satu yang memimpin dari kursi kekuasaan, satu lagi dari ruang kebijaksanaan.

Sehingga kalau pun iya, ada dua matahari—maka biarkan saja lah. Asal keduanya menyinari Indonesia, bukan saling membakar. (*)

Oleh: Fajar Maritim, Pepimpin Redaksi Purwakarta Pedia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *